Minggu, 02 September 2012

ARCA PENINGGALAN KERAJAAN SINGOSARI

  Sebuah laporan Belanda ditulis oleh Nicolaus Engelhard bertanggal 28 Febuari 1827 mengatakan bahwa dia menemukan candi Singosari tahun 1803. Surat tersebut menyebutkan adanya 6 patung dari candi ini, termasuk Durga dan Ganesha. Dia meninggalkan patung Agastya karena kondisinya yang rusak. Tahun 1804, patung-patung tersebut dikirim ke Belanda.
            Dari laporan tersebut nampak sekali bahwa saat itu dikawasan candi Singosari merupakan hutan lebat. Terbukti 17 tahun kemudian atau tahun 1820 D. Monnereau menemukan 4 bangunan candi disebelah selatan candi Singosari termasuk patung Pradnyaparamitha atau Kendedes. J.B Jukes yang mengunjungi reruntuhan candi Singosari tahun 1844 menyebutkan bahwa salah satu candi disebelah selatan candi Singosari disebut oleh penduduk setempat sebagai Cungkup Putri. Selanjutnya dia berpendapat bahwa candi tersebut tempat asli patung Pradnyaparamitha atau Kendedes.
            Dari laporan-laporan tersebut jelas terbukti bahwa candi Singosari sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah kompleks candi. Sesuai dengan kitab Pararaton disebutkan adanya bangunan suci purwapatapan di Singosari dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Kompleks candi tersebut membujur dari selatan ke utara dengan kemungkinan candi Singosari adalah candi utamanya. Dr. Oey Blom menyebutkan bahwa kompleks candi Singosari terdiri atas 9 candi yang tersusun sedemikian rupa sesuai dengan konsep suci saat itu. Sayang hanya candi Singosari saja yang tersisa, sedangkan candi-candi lainnya telah hilang sama sekali dan berganti dengan pemukiman, jalan raya, dan persawahan sehingga sulit untuk dilacak kembali.
            Dari sekian banyak patung-patung indah warisan kompleks candi Singosari hanya patung Agastya dan juga sepasang patung raksasa Dwarapala, 200 m sebelah barat candi, yang masih berada di asli lokasi. Sementara yang lain telah berpindah dan tersimpan dibeberapa tempat seperti di museum Nasional Jakarta (Patung Kendedes), Trowulan (Camundi) dan museum Leiden Belanda (Durga, Ganesha, Bhairawa). Yang lainnya hilang entah kemana.


PRADNYAPARAMITHA

            Menurut kebanyakan orang, patung yang diduga berasal dari candi Singosari, pernah disimpan lama di negeri Belanda, dan sekarang menjadi salah satu koleksi berharga museum Nasional Jakarta, adalah patung Kendedes, sang permaisuri agung dan ibu suri dinasti Singosari dan Majapahit yang cantik jelita bak bidadari. Hal ini sesuai dengan cerita tutur, kitab kuno Pararaton, serta prasasti Mula Malurung.

            Patung yang sesungguhnya merupakan perwujudan dewi Kebijaksanaan dan Ilmu Pengetahuan versi agama Budha ini disebut Pradnyaparamitha. Patung ini adalah yang terhalus dan terindah yang pernah ditemukan dalam dunia arkeologi Indonesia. Tingginya sekitar 1,26 m dan terbuat dari batu gunung atau andesit. Beliau duduk diatas bunga teratai dan kedua tanggannya membentuk sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia. Terdapat hiasan tangkai teratai melingkar ditangan kiri dan bunganya sebagai alas sebuah kitab. Dia bersandar pada sebuah kursi kencana indah dan beralaskan teratai.
            Tubuhnya dipenuhi perhiasan mengagumkan mulai dari gelang kaki, bagian perut, tangan, dada, leher, kuping, badan hingga ke mahkotanya. Sedangkan tubuh bagian bawahnya ditutupi oleh kain sebangsa batik. Seandainya merupakan sebuah lukisan atau potret berwarna, tentulah patung ini akan menampilkan keagungan luar biasa dari sang putri. Mungkin juga patung ini adalah gambaran dari potret seorang putri raja karena memiliki hiasan yang begitu banyak dan indah.
            Posisi tangannya melambangkan sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia atau lebih jelasnya merupakan kunci dari penguasaan sebab dan akibat.  Sikap ini hanya dimiliki oleh kaum Budda dan juga seperti ditunjukkan pada patung-patung Budha yang ada di candi Borobudur. Sementara sebelah kirinya terdapat sebuah batang bunga teratai yang menjulur melingkar tangan kirinya. Pada ujung bunga teratai terdapat sebuah kitab yang disebut Pradnyaparamita-sutra atau kitab Kebijaksanaan Utama.
           Sang pencipta patung ini sungguh telah begitu sempurna berhasil menggambarkan perpaduan antara kedamaian dan keteduhan ekspresi raut wajah serta keutamaan sikap Budhawi dengan gemerlapnya perhiasan diseluruh badan. Bahkan tak ada patung lain di Indonesia yang mampu menghadirkan keyakinan adanya teori patung “potret diri” karena pada patung ini jelas terlihat perpaduan dari sorang dewi yang memiliki wajah manusiawi serta memiliki perhiasan keduniawian seroang ratu. Dan sungguhnya patung ini merupakan satu-satunya patung potret-diri seorang ratu sebelum konsep potret-diri itu mulai muncul diantara para ahli sejarah.
            Namun sayang tempat asli patung ini masih misteri. Karena jelas letak patung ini tidak mungkin dari candi Singosari yang ada sekarang masih berdiri. Ini karena candi Singosari adalah sebuah candi Siwa sementara patung Pradnyaparamita adalah sebuah dewi agama Budha. Jadi jelas bahwa salah satu bangunan agamis tersebut merupakan bagian dari sebuah kompleks besar percandian Singosari seperti ditunjukkan oleh penemuan Engelhard tahun 1827 yang tidak jauh dari candi Singosari. Kompleks tersebut ternyata tidak hanya berhiaskan candi-candi Hindu namun juga Budha seperti ditunjukkan oleh patung Pradnyaparamita. Dan ini tentunya sesuai sekali dengan prinsip raja Kertanegara sebagai seorang pemuja Siwa-Budha dan Tantra.
                Namun demikian belum sepenuhnya benar seandainya patung Pradnyaparamita ini merupakan potret Kendedes. Kakawin Negarakertagama (67 ; 1-2 dan 69 ; 1) menyebutkan bahwa ratu Gayatri didharmakan sebagai Pradnyaparamitha dan candinya disebut Pradnyaparamithapuri. Gayatri adalah salah satu dari 4 putri Kertanegara dan menjadi istri terkasih dari Kertarajasa sang pendiri kerajaan dan dinasti Majapahit. Sementara itu, menurut kitab Pararaton, disebutkan bahwa pendeta Lohgawe yang merupakan penasehat spiritual Ken Arok menyebut Kendedes sebagai Ardhaneswari atau wanita utama dan mengacu pada dewi Parvati yang cantik jelita.


BHAIRAWA
            Mungkin karena masih tersimpan dimuseum Leiden Belanda, sehingga patung yang indah dan nampak seram ini jarang dikenal orang. Patung ini ditemukan oleh Engelhard tahun 1827, bersama-sama beberapa patung lain, dari candi yang sekarang disebut Singosari.
            Walaupun kitab-kitab icinografi India tidak memiliki referensi yang mampu menjelaskan dengan sempurna patung ini, dari penampilannya serta atribut-atributnya jelas patung ini merupakan salah satu perwujudan dewa Siwa yang menakutkan dan disebut Bhairawa. Berdiri diatas setumpukan kepala tengkorak dan dengan sikap agak jongkok, dia seperti duduk dipunggung seekor serigala. Memiliki 4 tangan yang masing-masing memegang keris, senjata tombak pendek, gendang dan batok kepala tengkorak. Pada badannya menjuntai kalung panjang berhiaskan kepala tengkorak, begitu juga anting-anting dan hiasan lengan atas kiri dan kanan. Wajahnya melotot dan mulutnya agak terbuka menampilkan gigi taringnya. Sangat pas menunjukkan wajah seramnya. Pada sandarannya sebelah atas kanan terdapat huruf jawa kuno berbunyi cakra-cakra. Sayang sedikit sandaran bagian atas kiri hilang dan mungkin berisi sisa tulisan tersebut sehingga belum terungkap dengan pasti apa makna dibalik seluruh prasasti tersebut.
            Jessy Blom dan P.H. Port menduga kuat patung ini dulunya berada pada salah satu candi disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kitab Pararaton tentang adanya sebuah Purwapatapan dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Menurutnya patung Bhairawa ini terletak di Purwapatan, seperti juga ditulis dalam prasasti Gunung Buthak (1924) sebagai Sivabuddhalaya atau tempat bersemayamnya Siwa-Budha, G.F. Brummund berpendapat bahwa bangunan ini terbagi atas 3 ruang. Patung Parwati (Pradnyaparamita) terletak disebelah selatan, patung Camundi disebelah utara, dan Bhirawa ditengahnya. Jadi Bhirawa ini diapit oleh seorang dewi menakutkan dan menyejukkan.
            Tidak diketahui dengan pasti patung ini diperuntukkan siapa. Namun L.C. Damais berhasil meyakinkan bahwa terdapat 2 nama yang berkaitan erat dengan personfikasi patung Bhairawa ini; Yakni Adityawarman yang pernah memerintah Sumatra atau Kertawardahana yang selanjutnya dikenal sebagai istri Tribuwanatunggadewi dan ayah raja terbesar Majapahit, Hayam Wuruk. Nama asli Kertawardhana adalah Cakradhara atau Cakresvara.


CAMUNDI

            Tahun 1927 ada seorang petani didesa Ardimulyo, sebelah utara candi Singosari, menemukan dan menyimpan sebuah arca agak besar. Namun kemudian dia sering bermimpi menyeramkan dan mengalami nasib jelek. Khawatir itu semua karena pengaruh patung yang baru ditemukannya, maka dia menghancurkan patung itu berkeping-keping. Untunglah museum Kesenian Boston, setelah berhasil menyelamatkannya dari seorang kolektor Belanda, dengan kesabaran luar biasa, berhasil menyatukan kembali sebagian besar bagian-bagian yang rusak dan hilang kecuali sedikit bagian belakang, dasaran, sedkit bagian depan yang sudah bercampur dengan bahan material baru.
            Patung tersebut pernah tergeletak di halaman candi Singosari dan sekarang disimpan di museum Trowulan. Nama patung itu adalah Camundi. Memiliki tangan 8 buah, diapit beberapa tokoh seperti Ganseha dan Bhairawa.
           Dibelakang patung Camundi tertera sebuah prasasti berangka tahun 1214 C atau 1292 M dan berbunyi : “tatkala kaprastisthan paduka bhatari maka tewek huwus sri maharaja digwijaya ring sakalaloka manuyuyi sakaladwipantara”. Disebutkan bahwa Batari Camundi ditasbihkan pada waktu Sri Maharaja Kertanegara menang diseluruh wilayah dan menundukkan semua pulau-pulau lain. (L.C. Damais)
           Dalam Negarakertagama pupuh 42 dijelaskan bagaimana raja Kertanegara mampu menjadi raja besar dengan menaklukkan daerah-daerah seperti Bali, Pahang – Malaysia, Sumatera, Gurun, Bakulapura, Sunda, dan Madura. Itulah bibit-bibit wawasan cakrawala mandala nusantara.
            Walaupun tidak terdapat bukti secara langsung atas daerah-daerah tersebut dan mengkin saja hanya merupakan wilayah simbolis saja, namun kenyataannya Kertanegara benar-benar menguasai Jawa dan Sumatera. Terbukti 6 tahun sebelumnya. tahun 1286, beliau mengirimkan tentaranya ke Sumatera dan berhasil menegakkan patung Amoghapasa disana sebagai bentuk kedaulatan Singosari atas wilayah Sumatera. Raja di Sumatera bernama Mauliawarman tetap diperkenakan memakai gelar maharaja, namun Kertanegara selanjutnya bergelar maharajadiraja.


DURGA MAHESASURAMARDINI
            Dalam ksiah India kuno Markandeya Purana dan Matsya Purana menceritakan pertempuran antara para raksasa Asura yang dipimpin oleh rajanya Mahisa melawan para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra. Pada akhirnya pasukan para raksasa mampu mengalahkan tentara para dewa dan mereka memproklamirkan diri sebagai penguasa kahyangan. Brahma yang memimpin para dewa yang kalah meminta bantuan kepada dewa Wisnu dan Siwa. Keduanya akhirnya menyanggupi. Dari perpaduan kekuatan maha dahsyat kedua dewea utama ini maka lahirlah dewi Durga. Kemudian para dewa menyumbang kekuatan dan senjata andalannya kepada dewi Durga dengan harapan akan mmapu menandingi kesaktian Mahisa dan merebut kembali kahyangan. Setelah berhasil membunuh para tentara raksasa, Durga sendiri akhirnya menghadapi Asura yang berbentuk seekor kerbau. Dengan bediri diatas tubuh kerbau, Durga selanjutnya berhasil membunuhnya. Namun kemudian muncullah seorang raksasa kecil dari tubuh kerbau yang mati tersebut, yang sesungguhnya merupakan inti kekuatan dari kerbau sakti itu. Dan sekali lagi Durga berhasil menaklukkannya.
            Demikian gambaran sekilas tentang patung Durga yang banyak ditemukan di Jawa dan sekaligus juga sebagai salah satu patung utama dari keberadaan sebuah candi. Dewi paling popular di Jawa ini, Durga Mahesasuramardini umumnya diletakkan di ruang sebelah utara sebuah candi Hindu atau Siwa. Patung Durga umumnya memiliki tangan mulai dari 2 sampai 10, namun yang paling umum bertangan 8 buah. Karena menurut ceritanya bahwa semua dewa menyerahkan senjata andalannya untuk diprgunakan melawan Mahisa, maka dalam literature Purana jumlah senjata tersebut melebihi jumlah tangannya yang ada. Akibatnya patung Durga kadang-kadang memiliki jenis senjata berbeda dengan patung Durga yang lain. Bahkan di Bali, salah satu tangan Durga digambarkan memegang keris Bali yang khas. Namun itu hanya minoritas saja karena pada umumnya Durga memiliki atribut senjata yang sama satu dengan lainnya.
            Dalam dunia arkeologi Jawa, patung Durga digambarkan seolah-olah dalam keadaan sedikit rileks setelah berhasil mengalahkan Mahisa dan Asura. Berbeda dengan patung Durga di India yang menggambarkan sebuah pertarungan dahsyat melawan Mahisa. Hal itu terlihat dari sikap atau posisinya yang sedikit condong kekiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Keadaan Mahsia sendiri nampak pasrah dan seolah-olah merupakan binatang kendaraan Durga dan bukannya musuh para dewa yang berbentuk raksasa dan menakutkan seperti dalam konsep di India.
            Dari berpuluh-puluh patung Durga yang pernah ditemukan di Indonesia, patung Durga dari candi Singosari dianggap yang paling indah dan megah. Patung yang masih tersimpan rapi di museum Leiden Belanda ini berhiaskan ukiran indah serta tinggi sekitar 1,5 meter. Hiasan pada tubuh Durga masih terlihat dengan baik demikian juga nandi (lembu) yang mejadi kendaraannya dan patung raksasa kecil disebelah kiri bawahnya.
            Walau sebagian bagian atasnya sudah hilang, namun bagian yang menampilkan tubuh dan kepalanya masih utuh. Mahkotanya juga terlihat indah. Hiasan atribut keningratannya seperti gelang kaki atau binggel, sabuk, gelang tangan, dan anting-antingnya juga masih terlihat jelas.
           Ada hal sangat menarik dari patung Durga ini adalah bahwa dia memakai penutup dada atau semacam kemben. Bahkan kemben tersebut terlihat ketat karena menampilkan  lekuk-lekuk tubuhnya. Sedangkan tubuhnya bagian bawah tertutup oleh kain panjang semacam sarung dihiasi beberapa atribut keningratan. Yang tak kalah menarik, dibanding patung-patung lain yang pernah ada di Indonesia, adalah bahwa kain kemben dan sarung tersebut bermotf batik. Apakah memang batik sudah dikenal sejak jaman kerajaan Singosari ? Mungkin saja …
            Patung Durga indah lainnya dari kerajaan Singosari adalah yang dari candi jawi. Patung ini sekarang disimpan di museum Mpu tantular Surabaya. Walau tidak seindah patung Durga dari candi Singosari dan berukuran lebih kecil (1 m), patung ini masih nampak utuh.


GANESHA


            Menurut Mitologi India Ganesha digambarkan dengan berbadan manusia dan memiliki kepala binatang gajah. Gadingnya patah dan memiliki 4 buha tangan, 2 didepan dan 2 dibelakang. Mitologi itu jug amenyebutkan bahwa Ganesha mengendarai tikus karena itu ia digelari Vighnesvara yang artinya pengelak marabahaya atau penghalang segala keuskaran. Oleh karena itu setiap kali akan memulai suatu usaha, masyarakat India dulu tidak lupa memuja Vighnesvara agar usahanya kelak bebas dari segala bencana atau kesukaran dan ujung-ujungnya bisa berhasil.
            Seperti patung-patung lain yang ditemukan Engelhard tahun 1827 dari candi Singosari, patung Ganesha ini yang masih tersimpan di museum Leiden Belanda ini dalam keadaan baik dan terawat. Patung yang juga terbuat dari batu gunung, andesit, ini berasal dari bilik sebelah timur candi Singosari.
            Dengan tinggi sekitar 1,3 meter Ganesha nampak indah dan gagah. Sama seperti Ganesha yang lain, dia bertangan 4 masing-masing memegang kapak, gantungan, dan kepala tengkorakyang terbalik. Dia duduk diatas alas berhiaskan 10 kepala tengkorak.
            Ganesha Singosari ini juga merupakan perwujudan dari Kertanegara itu sendiri. Jumlah 10 tengkorak pada batur alasnya merupakan simbol dari keutamaan Kertanegara dalam pemahaman 10 laku utama agama Budha atau disebut Paramita, yakni  dhana (derma), sila (tata susila), ksanti (sabar), virya (perwira), dyana (samadi), prajna (kebijaksanaan), upaya kausalya (upaya sarana), pradinata (teguh), bala (kekuasaan), dan jnyana (pengetahuan). Seperti diketahui dari berbagai sumber bahwa Kertanegara terkenal sebagai raja yang sangat paham tentang prinsip-prinsip keagamaan.
            Yang tidak lazim dari Ganesha ini adalah posisi duduknya yakni jigang atau sikap 2 kaki membentuk sudut siku-siku.. Hal ini melukiskan Kertenegara adalah orang yang memegang teguh norma-norma tata susila. Kepalanya memiliki mahkota bersusun tiga dan dibagain paling atas berbentuk stupa yang merupakan symbol penghormatan Kertenegara terhadap agama Budha yang dianutnya selain Siwa.
            Tangan berjumlah empat buah. Kanan depan memegang batok yang digambarkan berisi perhiasan melimpah ruah, dan tangan kiri depannya memegang batok yang berisi darah yang dihisap melalui belalainya. Simbolis ini adalah bahwa kerjaan Singosari mengalami kemakmuran melimpah ruah sementara dia sendiri adalah orang yang terus menerus belajar tentang keutamaan dalam agama. Sementara  tangan kanan belakang mmegang kunci pintu gerbang dan tagan kiri belakang memegang kapak. Ini merupakan perlambang Kertanegara yang teguh menjaga kedaulatan kerajaan besar Singosari dan menghancurkan musuh-musuh nya. Semua ini sesuai sekali dengan apa yang digambarkan oleh Prapanca dalam kakawin Negarkertagama

Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau
Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama
Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama
Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung … (pupuh 43 : 4)

            Dengan prinsip upacara cradha atau upacara yang berlangsung setiap tahun hingga berakhir pada tahun ke-12, maka logis bila candi Singosari didirikan setelah wafatnya Kertanegara atau tepatnya pada waktu periode Majapahit. Jadi bukan pada periode Singosari. Hal ini juga dibuktikan pada patung Ganesha ini dan terletak dibagian sandarannya. Disebelah kiri dan kanan mahkota Ganseha terdapat hiasan bulat dan dilapisi lingkaran lancip dibagian luarnya. Dalam dunia arkeologi pola seperti ini disebut matahari terbit atau wilwatikta. Hiasan ini dipakai sebagai simbol resmi kerajaan Majapahit dan juga sering sebagai produk periode Majapahit.
            Para ahli sejarah seperti Prof. Dr. Woyowasito,  R. Soekmono, Drs. Pitono H., berpendapat bahwa Ganesha adalah dewa symbol kebijaksanaan atau lambang ilmu pengetahuan. Bahkan WR Situterheim mengatakan sebagai dewa kebahagiaan. Oleh karena itu wajar bila ITB Bandung menggunakan Ganesha sebagai symbol perguruan tingginya. Hal ini terkait dengan sikap belalai Ganesha yang menghisap isi batok sebagai symbol terus-menerus menghisap ilmu pengetahuan tanpa henti.
  

DWARAPALA
            Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan “melindungi” dan “menjaga” bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
            Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
            Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
            Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2 buah di sebelah selatan dan utara.
            Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya, maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan mata kakinya.
            Menurut Bernet Kempers Dwarapala Singosari adalah penjaga alun-alun kerajaan Singosari (1222-1292) yang sekarang berubah menjadi taman didepannya. Sehingga diperkirakan keraton kerajaan Singosari terletak tidak jauh darinya. Kitab Pararaton menyebutkan adanya bangunan suci Purwapatapan tempat Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri dan Dr. Oey  Blom yakin bahwa bangunan tersebut terletak disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Tentunya letak keraton tidak akan begitu jauh dengan tempat pemujaan.

Kamis, 30 Agustus 2012

CERITA ASAL USUL CANDI PRAMBANAN

Terletak 13 Km dari kota Klaten, menuju barat pada jalur jalan ke Yogyakarta dan 17 Km dari Yogya menuju timur pada jalur jalan ke
 kota Klaten/Surakarta, Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah candi Hindu terbesar di Jawa Tengah. Secara

administratif kompleks candi ini berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat menyebut candi ini dengan nama candi Larajonggrang, suatu sebutan yang sebenarnya keliru. Rara dalam
bahasa Jawa untuk menyebut anak gadis. Dalam cerita rakyat, Rara Jonggrang dikenal sebagai putri Prabhu Ratubaka yang namanya diabadikan sebagai nama peninggalan kompleks bangunan di perbukitan Saragedug sebelah selatan Candi Prambanan.
Dikisahkan dalam cerita tersebut ada seorang raksasa bernama Bandung Bandawasa yang memiliki kekuatan supranatural. Dia ingin mempersunting putri Rara Jonggrang. Untuk itu dia harus membuat candi dengan seribu arca didalamnya dalam waktu satu malam. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Bandung Bandawasa, namun Rara Jonggrang curang sehingga pada saat yang ditentukan candi itu belum selesai, kurang sebuah arca lagi. Bandung Bandawasa marah dan mengutuk putri Rara Jonggrang menjadi pelengkap arca yang keseribu. Arca tersebut dipercayai sebagai arca Durgamahisasuramardhini yang berada di bilik utara Candi Siwa.

Kompleks Candi Prambanan mempunyai 3 halaman, yaitu halaman pertama berdenah bujur sangkar, merupakan halaman paling suci karena halaman tersebut terdapat 3 candi utama (Siwa, Wisnu, Brahma), 3 candi perwara, 2 candi apit, 4 candi kelir, 4 candi sudut/patok. Halaman kedua juga berdenah bujur sangkar, letaknya lebih rendah dari halaman pertama. Pada halaman ini terdapat 224 buah candi perwara yang disusun atas 4 deret dengan perbandingan jumlah 68, 60, 52, dan 44 candi. Susunan demikian membentuk susunan yang konsentris menuju halaman pusat.

Seni hias yang sangat menarik di kompleks Candi Prambanan ini adalah hiasan-hiasan yang berupa relief arca dewa Lokapala (8 dewa penjaga arah mata angin) yang dipahatkan pada dinding luar kaki Candi. Disamping itu, juga terdapat relief cerita Ramayanadan Kresnayana. Relief Ramayana dipahatkan pada dinding dalam pagar langkan Candi Siwa di candi Brahma. Relief Kresnayana dipahatkan pada dinding dalam pagar langkan Candi Wisnu. Selain relief arca Dewa Lokapala, relief Ramayana, dan Kresnayana, seni hias di kompleks Candi Prambanan yang menonjol adalah hiasan yang lazim disebut motif prambanan, yaitu suatu hiasan pada batur candi yang berupa seekor singa yang dalam posisi duduk diapit oleh pohon kalpataru (= pohon hayati/pohon kehidupan). Hiasan semacam ini hanya terdapat di candi Prambanan sehingga disebut dengan motif candi prambanan. Hiasan-hiasan lainnya yang banyak menghiasi dinding luar batur candi adalah pohon kalpataru yang diapit sepasang mahluk kayangan yang lazim disebut kinara-kinari (= mahluk berkepala manusia berbadan burung). Di sekitar candi Prambanan dapat dikunjungi pula beberapa candi Budha seperti candi Sajiwan, candi Lumbung, candi Sewu dan candi Plaosan. Selama bulan Mei sampai Oktober pada saat bulan purnama di plataran terbuka candi Prambanan diadakan Sendratari Ramayana yang dimulai pada pukul 19.00 - 21.00 wib.

ASAL USUL CANDI SINGOSARI

Candi Singosari adalah candi Hindu – Buddha yang merupakan peninggalan bersejarah dari Kerajaan ternama yakni "Kerajaan Singhasari". Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, lebih kurang 11 km sebelah utara dari pusat kota Malang. Candi Singosari atau Singhasari kadang disebut pula sebagai "Candi Ken Dedes" ,Candi Singosari merupakan makam Raja Kertanegara (1268 – 1292) sebagai Bhirawa atau dewa Syiwa dalam bentuk ganas.Di sebelah barat candi Singhasari (kurang lebih 100 Meter) terdapat dua arca besar yang mempunyai tinggi 3,7 Meter yang disebut sebagai penjaga atau lebih dikenal dengan Arca Dwarapala dari sebuah taman yang indah dan luas pada zaman kerajaan Singhasari, yang mungkin mencakup Sumberawan. Yang berada disebelah selatan pada tahun 1980 pernah dinaikkan dari benamannya yang setinggi dadanya.



Tidak banyak sisa-sisa Kerajaan Singosari yang pernah berkuasa abad 13 di Jawa Timur. Hanya ada sebuah candi yang belum selesai dibangun dan dua patung raksasa yang berdiri menjaga di depan istana sebagai jejak yang tersisa dari salah satu kerajaan besar di Nusantara ini.

Candi Singosari disebut masyarakat setempat sebagai  "Candi Cungkup" awalnya sempat dinamakan juga candi Renggo, Candi Menara, dan Candi Cella. Untuk sebutan yang terakhir karena candi ini memiliki celah sebanyak 4 buah di bagian tubuh candi. Hingga kini nama yang lebih dikenal adalah Candi Singosari karena letaknya di Singosari.

Banyak yang menganggap bahwa Candi Singosari adalah makam Raja Kertanegara sebagai raja terakhir Singosari. Akan tetapi pendapat ini diragukan banyak ahli, lebih dimungkinkan Candi Singosari merupakan tempat pemujaan Dewa Siwa karena sistem mandala yang berkonsep candi Hindu dan sekaligus sebagai media pengubah dari  air biasa menjadi air suci (amerta).

Candi Singosari awalnya disebut dalam sebuah laporan kepurbakalaan tahun 1803 oleh Nicolaus Engelhard, seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa. Ia melaporkan tentang reruntuhan candi di daerah dataran tandus di Malang. Tahun 1901 Komisi Arkeologi Belanda melakukan pennelitian ulang dan penggalian. Berikutnya 1934 Departemen Survey Arkeologi Hindia Belanda Timur merestorasi bangunan ini hingga selesainya tahun 1937. Anda dapat melihat goresan tanda penyelesaian pemugaran ini pada batu kaki candi di sudut barat daya. Saat ini banyak arca-arca dari reruntuhan Candi Singosari disimpan di Museum Leiden Belanda.

Ada informasi yang mencukupi dapat diketahui tentang Singosari dari teks Jawa kuno abad ke-14 yaitu “Pararaton� atau kitab raja. Candi Singosari yang dibangun tahun 1304 ini umumnya dihiasi dari bawah hingga atasnya. Bila Anda perhatikan hiasan tersebut tidak seluruhnya terselesaikan sehingga ada dugaan candi ini dalam proses pembangunan yang belum selesai kemudian ditinggalkan. Dimungkinkan akibat adanya peperangan yaitu serangan Kerajaan Gelang-Gelang pimpinan Jayakatwang tahun 1292 hingga menghancurkan Kerajaan Singosari, sering disebut juga masa kehancuran Singosari atau pralaya.

Candi SingosariKerajaan Singosari didirikan tahun 1222 oleh seorang rakyat biasa bernama Ken Arok, yang berhasil menikahi putri cantik Ken Dedes dari Janggala setelah membunuh suaminya. Ken Arok kemudian menyerang Kediri dan berhasil menyatukan dua wilayah terbelah yang pernah dipisahkan oleh Raja Airlangga tahun 1049 sebagai warisan untuk kedua putranya.

Singosari kemudian berhasil mengembangkan pertanian yang subur di sepanjang aliran sungai Brantas, serta perdagangan laut yang menguntungkan di sepanjang Laut Jawa. Pada 1275 dan 1291 Raja Singosari yaitu Kertanegara menyerang kerajaan maritim Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian mengontrol perdagangan laut di laut Jawa dan Sumatera.

Dalam masa kejayaannya, Singosari begitu kuat, bahkan Kaisar Mongol Kubilai Khan yang perkasa menganggap penting mengirim armada dan utusan khusus ke kerajaan Singosari untuk menuntut Raja Kertanegara secara pribadi  untuk memberikan loyalitas kepada Mongol. Sebagai jawabannya, ternyata Raja Kertanegara memotong telinga salah satu utusan tersebut sebagai pesan kepada Kubilai Khan bahwa Singosari tidak akan tunduk.

Candi SingosariKemudian Kertanegara dibunuh oleh salah seorang raja bawahannya yaitu Jayakatwang tahun 1293. Ketika armada perang dikirim oleh Kubilai Khan tiba di Jawa, mereka tidak mengetahui bahwa rupanya Raja Kertanegara sudah tiada. Menantu Kertanegara, Raden Wijaya, berhasil membujuk armada Kublai Khan untuk membunuh Jayakatwang, tetapi kemudian justru berbalik mengusir armada Mongol dari Jawa.

Raden Wijaya selanjutnya mendirikan kerajaan Majapahit tahun 1294 di utara Singosari yaitu di Porong. Maka berlangsunglah sebuah masa keemasan bagi sebuah kerajaan bernama Majapahit yang kekuasaannya mencakup Indonesia saat ini dan bahkan hingga ke Malaysia dan Thailand.

CERITA ASAL USUL KOTA BANYUWANGI



Pada zaman dahulu kala ada Subuah kerajaan yang diperintah oleh Raja, Raja tersebut mempunyai seorang putra bernama "Raden Banterang". Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. Pada suatu hari Raden Banterang pergi berburu di hutan disertai bersama – sama dengan abdinya. Ketika di tengah hutan Raden Banterang sedang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya, segera mengejar kijang itu hingga masuk hingga masuk ke hutan. Sehingga Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang terus mengejar kijang tersebut maka ia pun makin jauh masuk ke hutan. Hingga Ia tiba di sebuah sungai yang sangat jernih dan bening airnya. “Hem, segar benar air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, hingga melegakan dahaganya. Namun di waktu meminum air tersebut baru, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan seorang gadis cantik jelita.

Melihat gadis tersebut Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu dan bertanya. “Siapakah engkau?” tanya Raden Banterang. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya, dan Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. 
“Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar cerita gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulan
ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia. 
 
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahnya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena ia telah jatuh cinta kepadanya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Sewaktu Raden Banterang berada di tengah hutan, ia terkejutkan oleh kedatangan seorang lelaki. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Mendengar laporan dari laki laki tersebut Raden Banterang segera pulang ke istana. Dan dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh laki laki yang menemui di hutan. Setelah di temukan ikat kepala itu, maka di curigailah istrinya.

Karena ketakutan Raden Banterang akan keselamatan dirinya dan kecurigaan akan istrinya, maka ia berniat jahat terhadap istrinya. Tetapi istrinya pun menjelaskan bahwa dari mana asal ikat kepala tersebut.
Setelah menjelaskan semua hal tersebut, hati Raden Banterang tidak juga cair bahkan ia masih saja menganggap istrinya berbohong. Dengan penuh kekecewaan Surati berkata “Kakahanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tak lama setelah menghilangnya Surati, terjadi sebuah keajaiban. Bau yang harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa!” Dengan sangat menyesalnya Raden Banterang, meratapi kematian Surati istrinya, dan menyesali kebodohannya.
Sejak saat itu, sungai tersebut menjadi harum baunya, sejak saat itu cerita ini diangkat menjadi cerita asal usul kota banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Maka nama Banyuwangi kemudian menjadi nama salah satu kota di Jawa Timur yaitu Kota Banyuwangi.

CERITA ASAL USUL DANAU TOBA

Cerita rakyat Sumatra Utara Asal Usul Danau Toba – Dahulu kala di daerah Sumatera Utara hiduplah seorang petani yang hidup sendiri dan sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap ladang di sawahnya. Suatu hari petani tersebut pergi mencari ikan untuk lauknya di sungai dekat tempat tinggalnya. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan kailnya. Tak lama setelah menunggu kailnya dimakan ikan, tiba – tiba kail yang dilemparkannya tadi bergoyang-goyang. Petani tersebut terkenjut dan nampak senang, dengan cepat ia menarik kailnya, nampaklah ikan yang sangat besar dan cantik.
Sewaktu akan memasukkan ikan tersebut ditempayan ikan, tiba – tiba terdengar suara. “Jangan makan aku Pak!! Biarkan aku hidup”. Petani itu menjadi terkejut karena suara itu berasal dari Sang ikan. Karena ketakutan petani tersebut melempar ikan tangkapannya kembali ke sungai. Tapi ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita cantik.

 Karena rasa terima kasih wanita itu terhadap petani tersebut, maka wanita cantik tersebut rela di jadikan istri oleh Sang petani, dengan syarat Sang petani tidak boleh menceritakan asal – usul Sang istri.
Pernikahan keduanya pun terlihat harmonis dan bahagia, setelah beberapa waktu berlalu sejak pernikahan mereka, akhirnya  istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki yang membuat bertambahnya kebahagiaan mereka berdua. Anak mereka tumbah menjadi pemuda tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang
 membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Kemudian, suatu hari anak petani itu disuruh pergi oleh ibunya untuk mengirim bekal makanan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah. Tetapi ditengah perjalanan karena kebiasaannya yang aneh yaitu selalu lapar, maka semua makanan untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu Ia beristirahat dan tidur di sebuah gubug dekat sawah ayahnya. Pak tani yang menggunggu terlalu lama kedatangan anaknya, akhirnya ia memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, dengan menahan haus dan lapar , tetapi sejak perjalanan pulang pak tani melihat anaknya yang tertidur pulas di sebuah gubug dengan amarahnya Pak tani tersebut langsung membangunkan anaknya. “Hey, bangun!, teriak Pak petani.
Dengan terkejut anaknya lalu terbangun, Pak tani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya Pak tani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. ” Tak tahu diri! Anak tidak tau diuntung ! Dasar anak ikan!,” tanpa sadar Pak tani tersebut telat melanggar perjanjian dengan istrinya yang dia uncapkan sebelum menikah.
Dengan Seketika anak dan istri Pak tani tersebut menghilang, dan dari tempat Pak tani tersebut menginjakkan kakinya, tiba-tiba keluar air yang makin lama meluap sangat luas dan tinggi hingga membentuk sebuah danau atau telaga, Yang akhirnya luapan air tersebut oleh orang – orang dearah sana disebut dengan nama Danau Toba.

CERITA MALIN KUNDANG

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra.
Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.

Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.

Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.

Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.

"Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.

Pesan Moral : Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.

CERITA ASAL USUL GUNUNG TAKUBAN PERAHU

Cerita tentang Asal Usul Gunung Tangkuban Perahu yang berada di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat tempat Rekreasi yang indah " Gunung Tangkuban Perahu " . Tangkuban perahu artinya Perahu yang terbalik . Nama Tangkuban perahu di ambil karena bentuk gunung yang menyerupai perahu yang terbalik, Konon menurut cerita rakyat Parahyangan memang perahu yang terbalik , oke kita copas cerita selanjutnya .....

Saat itu Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan yang sangat lebat, Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati.

Dayang sumbi sangat cantik dan cerdas, banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Galau hati Dayang Sumbi melihat kekacauan yang bersumber dari dirinya. Atas permitaannya sendiri Dayang Sumbi mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi pun menikahi Si Tumang dan dikaruniai bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring selalu ditemani bermain oleh Si Tumang yang  dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sakti.

Pada suatu hari Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya Si Tumang untuk mengejar babi betina yang bernama Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, Sangkuriang marah dan membunuh Si Tumang. Daging Si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah Si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka dan diusirlah Sangkuriang.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya, begitu juga sebaliknya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya.

Dayang Sumbi pun berusaha menjelaskan kesalahpahaman hubungan mereka.
Walau demikian, Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya
.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya),
 ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).



CERITA SANGKURIANG



Pada Zaman Dahulu ada seorang putri raja bernama  Dayang Sumbi  " . Ia mempunyai anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang . Ia gemar berburu dengan anjing kesayangannya " Tumang " Anjing kesayangan istana . Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.


Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara..

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya di sana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona oleh kecantikan wanita tersebut, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.

Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi ketika melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua persyaratan Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum Fajar Terbit.

Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan makhluk-makhluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. pekerjaan itu hampDayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu ir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.

Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama "Tangkuban Perahu."