Sebuah laporan Belanda ditulis oleh Nicolaus Engelhard bertanggal 28 Febuari 1827 mengatakan bahwa dia menemukan candi Singosari tahun 1803. Surat tersebut menyebutkan adanya 6 patung dari candi ini, termasuk Durga dan Ganesha. Dia meninggalkan patung Agastya karena kondisinya yang rusak. Tahun 1804, patung-patung tersebut dikirim ke Belanda.
Dari laporan tersebut nampak sekali bahwa saat itu dikawasan candi Singosari merupakan hutan lebat. Terbukti 17 tahun kemudian atau tahun 1820 D. Monnereau menemukan 4 bangunan candi disebelah selatan candi Singosari termasuk patung Pradnyaparamitha atau Kendedes. J.B Jukes yang mengunjungi reruntuhan candi Singosari tahun 1844 menyebutkan bahwa salah satu candi disebelah selatan candi Singosari disebut oleh penduduk setempat sebagai Cungkup Putri. Selanjutnya dia berpendapat bahwa candi tersebut tempat asli patung Pradnyaparamitha atau Kendedes.
Dari laporan-laporan tersebut jelas terbukti bahwa candi Singosari sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah kompleks candi. Sesuai dengan kitab Pararaton disebutkan adanya bangunan suci purwapatapan di Singosari dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Kompleks candi tersebut membujur dari selatan ke utara dengan kemungkinan candi Singosari adalah candi utamanya. Dr. Oey Blom menyebutkan bahwa kompleks candi Singosari terdiri atas 9 candi yang tersusun sedemikian rupa sesuai dengan konsep suci saat itu. Sayang hanya candi Singosari saja yang tersisa, sedangkan candi-candi lainnya telah hilang sama sekali dan berganti dengan pemukiman, jalan raya, dan persawahan sehingga sulit untuk dilacak kembali.
Dari sekian banyak patung-patung indah warisan kompleks candi Singosari hanya patung Agastya dan juga sepasang patung raksasa Dwarapala, 200 m sebelah barat candi, yang masih berada di asli lokasi. Sementara yang lain telah berpindah dan tersimpan dibeberapa tempat seperti di museum Nasional Jakarta (Patung Kendedes), Trowulan (Camundi) dan museum Leiden Belanda (Durga, Ganesha, Bhairawa). Yang lainnya hilang entah kemana.
PRADNYAPARAMITHA
Menurut kebanyakan orang, patung yang diduga berasal dari candi Singosari, pernah disimpan lama di negeri Belanda, dan sekarang menjadi salah satu koleksi berharga museum Nasional Jakarta, adalah patung Kendedes, sang permaisuri agung dan ibu suri dinasti Singosari dan Majapahit yang cantik jelita bak bidadari. Hal ini sesuai dengan cerita tutur, kitab kuno Pararaton, serta prasasti Mula Malurung.
Patung yang sesungguhnya merupakan perwujudan dewi Kebijaksanaan dan Ilmu Pengetahuan versi agama Budha ini disebut Pradnyaparamitha. Patung ini adalah yang terhalus dan terindah yang pernah ditemukan dalam dunia arkeologi Indonesia. Tingginya sekitar 1,26 m dan terbuat dari batu gunung atau andesit. Beliau duduk diatas bunga teratai dan kedua tanggannya membentuk sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia. Terdapat hiasan tangkai teratai melingkar ditangan kiri dan bunganya sebagai alas sebuah kitab. Dia bersandar pada sebuah kursi kencana indah dan beralaskan teratai.
Tubuhnya dipenuhi perhiasan mengagumkan mulai dari gelang kaki, bagian perut, tangan, dada, leher, kuping, badan hingga ke mahkotanya. Sedangkan tubuh bagian bawahnya ditutupi oleh kain sebangsa batik. Seandainya merupakan sebuah lukisan atau potret berwarna, tentulah patung ini akan menampilkan keagungan luar biasa dari sang putri. Mungkin juga patung ini adalah gambaran dari potret seorang putri raja karena memiliki hiasan yang begitu banyak dan indah.
Posisi tangannya melambangkan sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia atau lebih jelasnya merupakan kunci dari penguasaan sebab dan akibat. Sikap ini hanya dimiliki oleh kaum Budda dan juga seperti ditunjukkan pada patung-patung Budha yang ada di candi Borobudur. Sementara sebelah kirinya terdapat sebuah batang bunga teratai yang menjulur melingkar tangan kirinya. Pada ujung bunga teratai terdapat sebuah kitab yang disebut Pradnyaparamita-sutra atau kitab Kebijaksanaan Utama.
Sang pencipta patung ini sungguh telah begitu sempurna berhasil menggambarkan perpaduan antara kedamaian dan keteduhan ekspresi raut wajah serta keutamaan sikap Budhawi dengan gemerlapnya perhiasan diseluruh badan. Bahkan tak ada patung lain di Indonesia yang mampu menghadirkan keyakinan adanya teori patung “potret diri” karena pada patung ini jelas terlihat perpaduan dari sorang dewi yang memiliki wajah manusiawi serta memiliki perhiasan keduniawian seroang ratu. Dan sungguhnya patung ini merupakan satu-satunya patung potret-diri seorang ratu sebelum konsep potret-diri itu mulai muncul diantara para ahli sejarah.
Namun sayang tempat asli patung ini masih misteri. Karena jelas letak patung ini tidak mungkin dari candi Singosari yang ada sekarang masih berdiri. Ini karena candi Singosari adalah sebuah candi Siwa sementara patung Pradnyaparamita adalah sebuah dewi agama Budha. Jadi jelas bahwa salah satu bangunan agamis tersebut merupakan bagian dari sebuah kompleks besar percandian Singosari seperti ditunjukkan oleh penemuan Engelhard tahun 1827 yang tidak jauh dari candi Singosari. Kompleks tersebut ternyata tidak hanya berhiaskan candi-candi Hindu namun juga Budha seperti ditunjukkan oleh patung Pradnyaparamita. Dan ini tentunya sesuai sekali dengan prinsip raja Kertanegara sebagai seorang pemuja Siwa-Budha dan Tantra.
Namun demikian belum sepenuhnya benar seandainya patung Pradnyaparamita ini merupakan potret Kendedes. Kakawin Negarakertagama (67 ; 1-2 dan 69 ; 1) menyebutkan bahwa ratu Gayatri didharmakan sebagai Pradnyaparamitha dan candinya disebut Pradnyaparamithapuri. Gayatri adalah salah satu dari 4 putri Kertanegara dan menjadi istri terkasih dari Kertarajasa sang pendiri kerajaan dan dinasti Majapahit. Sementara itu, menurut kitab Pararaton, disebutkan bahwa pendeta Lohgawe yang merupakan penasehat spiritual Ken Arok menyebut Kendedes sebagai Ardhaneswari atau wanita utama dan mengacu pada dewi Parvati yang cantik jelita.
BHAIRAWA
Mungkin karena masih tersimpan dimuseum Leiden Belanda, sehingga patung yang indah dan nampak seram ini jarang dikenal orang. Patung ini ditemukan oleh Engelhard tahun 1827, bersama-sama beberapa patung lain, dari candi yang sekarang disebut Singosari.
Walaupun kitab-kitab icinografi India tidak memiliki referensi yang mampu menjelaskan dengan sempurna patung ini, dari penampilannya serta atribut-atributnya jelas patung ini merupakan salah satu perwujudan dewa Siwa yang menakutkan dan disebut Bhairawa. Berdiri diatas setumpukan kepala tengkorak dan dengan sikap agak jongkok, dia seperti duduk dipunggung seekor serigala. Memiliki 4 tangan yang masing-masing memegang keris, senjata tombak pendek, gendang dan batok kepala tengkorak. Pada badannya menjuntai kalung panjang berhiaskan kepala tengkorak, begitu juga anting-anting dan hiasan lengan atas kiri dan kanan. Wajahnya melotot dan mulutnya agak terbuka menampilkan gigi taringnya. Sangat pas menunjukkan wajah seramnya. Pada sandarannya sebelah atas kanan terdapat huruf jawa kuno berbunyi cakra-cakra. Sayang sedikit sandaran bagian atas kiri hilang dan mungkin berisi sisa tulisan tersebut sehingga belum terungkap dengan pasti apa makna dibalik seluruh prasasti tersebut.
Jessy Blom dan P.H. Port menduga kuat patung ini dulunya berada pada salah satu candi disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kitab Pararaton tentang adanya sebuah Purwapatapan dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Menurutnya patung Bhairawa ini terletak di Purwapatan, seperti juga ditulis dalam prasasti Gunung Buthak (1924) sebagai Sivabuddhalaya atau tempat bersemayamnya Siwa-Budha, G.F. Brummund berpendapat bahwa bangunan ini terbagi atas 3 ruang. Patung Parwati (Pradnyaparamita) terletak disebelah selatan, patung Camundi disebelah utara, dan Bhirawa ditengahnya. Jadi Bhirawa ini diapit oleh seorang dewi menakutkan dan menyejukkan.
Tidak diketahui dengan pasti patung ini diperuntukkan siapa. Namun L.C. Damais berhasil meyakinkan bahwa terdapat 2 nama yang berkaitan erat dengan personfikasi patung Bhairawa ini; Yakni Adityawarman yang pernah memerintah Sumatra atau Kertawardahana yang selanjutnya dikenal sebagai istri Tribuwanatunggadewi dan ayah raja terbesar Majapahit, Hayam Wuruk. Nama asli Kertawardhana adalah Cakradhara atau Cakresvara.
CAMUNDI
Tahun 1927 ada seorang petani didesa Ardimulyo, sebelah utara candi Singosari, menemukan dan menyimpan sebuah arca agak besar. Namun kemudian dia sering bermimpi menyeramkan dan mengalami nasib jelek. Khawatir itu semua karena pengaruh patung yang baru ditemukannya, maka dia menghancurkan patung itu berkeping-keping. Untunglah museum Kesenian Boston, setelah berhasil menyelamatkannya dari seorang kolektor Belanda, dengan kesabaran luar biasa, berhasil menyatukan kembali sebagian besar bagian-bagian yang rusak dan hilang kecuali sedikit bagian belakang, dasaran, sedkit bagian depan yang sudah bercampur dengan bahan material baru.
Patung tersebut pernah tergeletak di halaman candi Singosari dan sekarang disimpan di museum Trowulan. Nama patung itu adalah Camundi. Memiliki tangan 8 buah, diapit beberapa tokoh seperti Ganseha dan Bhairawa.
Dibelakang patung Camundi tertera sebuah prasasti berangka tahun 1214 C atau 1292 M dan berbunyi : “tatkala kaprastisthan paduka bhatari maka tewek huwus sri maharaja digwijaya ring sakalaloka manuyuyi sakaladwipantara”. Disebutkan bahwa Batari Camundi ditasbihkan pada waktu Sri Maharaja Kertanegara menang diseluruh wilayah dan menundukkan semua pulau-pulau lain. (L.C. Damais)
Dalam Negarakertagama pupuh 42 dijelaskan bagaimana raja Kertanegara mampu menjadi raja besar dengan menaklukkan daerah-daerah seperti Bali, Pahang – Malaysia, Sumatera, Gurun, Bakulapura, Sunda, dan Madura. Itulah bibit-bibit wawasan cakrawala mandala nusantara.
Walaupun tidak terdapat bukti secara langsung atas daerah-daerah tersebut dan mengkin saja hanya merupakan wilayah simbolis saja, namun kenyataannya Kertanegara benar-benar menguasai Jawa dan Sumatera. Terbukti 6 tahun sebelumnya. tahun 1286, beliau mengirimkan tentaranya ke Sumatera dan berhasil menegakkan patung Amoghapasa disana sebagai bentuk kedaulatan Singosari atas wilayah Sumatera. Raja di Sumatera bernama Mauliawarman tetap diperkenakan memakai gelar maharaja, namun Kertanegara selanjutnya bergelar maharajadiraja.
DURGA MAHESASURAMARDINI
Dalam ksiah India kuno Markandeya Purana dan Matsya Purana menceritakan pertempuran antara para raksasa Asura yang dipimpin oleh rajanya Mahisa melawan para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra. Pada akhirnya pasukan para raksasa mampu mengalahkan tentara para dewa dan mereka memproklamirkan diri sebagai penguasa kahyangan. Brahma yang memimpin para dewa yang kalah meminta bantuan kepada dewa Wisnu dan Siwa. Keduanya akhirnya menyanggupi. Dari perpaduan kekuatan maha dahsyat kedua dewea utama ini maka lahirlah dewi Durga. Kemudian para dewa menyumbang kekuatan dan senjata andalannya kepada dewi Durga dengan harapan akan mmapu menandingi kesaktian Mahisa dan merebut kembali kahyangan. Setelah berhasil membunuh para tentara raksasa, Durga sendiri akhirnya menghadapi Asura yang berbentuk seekor kerbau. Dengan bediri diatas tubuh kerbau, Durga selanjutnya berhasil membunuhnya. Namun kemudian muncullah seorang raksasa kecil dari tubuh kerbau yang mati tersebut, yang sesungguhnya merupakan inti kekuatan dari kerbau sakti itu. Dan sekali lagi Durga berhasil menaklukkannya.
Demikian gambaran sekilas tentang patung Durga yang banyak ditemukan di Jawa dan sekaligus juga sebagai salah satu patung utama dari keberadaan sebuah candi. Dewi paling popular di Jawa ini, Durga Mahesasuramardini umumnya diletakkan di ruang sebelah utara sebuah candi Hindu atau Siwa. Patung Durga umumnya memiliki tangan mulai dari 2 sampai 10, namun yang paling umum bertangan 8 buah. Karena menurut ceritanya bahwa semua dewa menyerahkan senjata andalannya untuk diprgunakan melawan Mahisa, maka dalam literature Purana jumlah senjata tersebut melebihi jumlah tangannya yang ada. Akibatnya patung Durga kadang-kadang memiliki jenis senjata berbeda dengan patung Durga yang lain. Bahkan di Bali, salah satu tangan Durga digambarkan memegang keris Bali yang khas. Namun itu hanya minoritas saja karena pada umumnya Durga memiliki atribut senjata yang sama satu dengan lainnya.
Dalam dunia arkeologi Jawa, patung Durga digambarkan seolah-olah dalam keadaan sedikit rileks setelah berhasil mengalahkan Mahisa dan Asura. Berbeda dengan patung Durga di India yang menggambarkan sebuah pertarungan dahsyat melawan Mahisa. Hal itu terlihat dari sikap atau posisinya yang sedikit condong kekiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Keadaan Mahsia sendiri nampak pasrah dan seolah-olah merupakan binatang kendaraan Durga dan bukannya musuh para dewa yang berbentuk raksasa dan menakutkan seperti dalam konsep di India.
Dari berpuluh-puluh patung Durga yang pernah ditemukan di Indonesia, patung Durga dari candi Singosari dianggap yang paling indah dan megah. Patung yang masih tersimpan rapi di museum Leiden Belanda ini berhiaskan ukiran indah serta tinggi sekitar 1,5 meter. Hiasan pada tubuh Durga masih terlihat dengan baik demikian juga nandi (lembu) yang mejadi kendaraannya dan patung raksasa kecil disebelah kiri bawahnya.
Walau sebagian bagian atasnya sudah hilang, namun bagian yang menampilkan tubuh dan kepalanya masih utuh. Mahkotanya juga terlihat indah. Hiasan atribut keningratannya seperti gelang kaki atau binggel, sabuk, gelang tangan, dan anting-antingnya juga masih terlihat jelas.
Ada hal sangat menarik dari patung Durga ini adalah bahwa dia memakai penutup dada atau semacam kemben. Bahkan kemben tersebut terlihat ketat karena menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sedangkan tubuhnya bagian bawah tertutup oleh kain panjang semacam sarung dihiasi beberapa atribut keningratan. Yang tak kalah menarik, dibanding patung-patung lain yang pernah ada di Indonesia, adalah bahwa kain kemben dan sarung tersebut bermotf batik. Apakah memang batik sudah dikenal sejak jaman kerajaan Singosari ? Mungkin saja …
Patung Durga indah lainnya dari kerajaan Singosari adalah yang dari candi jawi. Patung ini sekarang disimpan di museum Mpu tantular Surabaya. Walau tidak seindah patung Durga dari candi Singosari dan berukuran lebih kecil (1 m), patung ini masih nampak utuh.
GANESHA
Menurut Mitologi India Ganesha digambarkan dengan berbadan manusia dan memiliki kepala binatang gajah. Gadingnya patah dan memiliki 4 buha tangan, 2 didepan dan 2 dibelakang. Mitologi itu jug amenyebutkan bahwa Ganesha mengendarai tikus karena itu ia digelari Vighnesvara yang artinya pengelak marabahaya atau penghalang segala keuskaran. Oleh karena itu setiap kali akan memulai suatu usaha, masyarakat India dulu tidak lupa memuja Vighnesvara agar usahanya kelak bebas dari segala bencana atau kesukaran dan ujung-ujungnya bisa berhasil.
Seperti patung-patung lain yang ditemukan Engelhard tahun 1827 dari candi Singosari, patung Ganesha ini yang masih tersimpan di museum Leiden Belanda ini dalam keadaan baik dan terawat. Patung yang juga terbuat dari batu gunung, andesit, ini berasal dari bilik sebelah timur candi Singosari.
Dengan tinggi sekitar 1,3 meter Ganesha nampak indah dan gagah. Sama seperti Ganesha yang lain, dia bertangan 4 masing-masing memegang kapak, gantungan, dan kepala tengkorakyang terbalik. Dia duduk diatas alas berhiaskan 10 kepala tengkorak.
Ganesha Singosari ini juga merupakan perwujudan dari Kertanegara itu sendiri. Jumlah 10 tengkorak pada batur alasnya merupakan simbol dari keutamaan Kertanegara dalam pemahaman 10 laku utama agama Budha atau disebut Paramita, yakni dhana (derma), sila (tata susila), ksanti (sabar), virya (perwira), dyana (samadi), prajna (kebijaksanaan), upaya kausalya (upaya sarana), pradinata (teguh), bala (kekuasaan), dan jnyana (pengetahuan). Seperti diketahui dari berbagai sumber bahwa Kertanegara terkenal sebagai raja yang sangat paham tentang prinsip-prinsip keagamaan.
Yang tidak lazim dari Ganesha ini adalah posisi duduknya yakni jigang atau sikap 2 kaki membentuk sudut siku-siku.. Hal ini melukiskan Kertenegara adalah orang yang memegang teguh norma-norma tata susila. Kepalanya memiliki mahkota bersusun tiga dan dibagain paling atas berbentuk stupa yang merupakan symbol penghormatan Kertenegara terhadap agama Budha yang dianutnya selain Siwa.
Tangan berjumlah empat buah. Kanan depan memegang batok yang digambarkan berisi perhiasan melimpah ruah, dan tangan kiri depannya memegang batok yang berisi darah yang dihisap melalui belalainya. Simbolis ini adalah bahwa kerjaan Singosari mengalami kemakmuran melimpah ruah sementara dia sendiri adalah orang yang terus menerus belajar tentang keutamaan dalam agama. Sementara tangan kanan belakang mmegang kunci pintu gerbang dan tagan kiri belakang memegang kapak. Ini merupakan perlambang Kertanegara yang teguh menjaga kedaulatan kerajaan besar Singosari dan menghancurkan musuh-musuh nya. Semua ini sesuai sekali dengan apa yang digambarkan oleh Prapanca dalam kakawin Negarkertagama
Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau
Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama
Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama
Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung … (pupuh 43 : 4)
Dengan prinsip upacara cradha atau upacara yang berlangsung setiap tahun hingga berakhir pada tahun ke-12, maka logis bila candi Singosari didirikan setelah wafatnya Kertanegara atau tepatnya pada waktu periode Majapahit. Jadi bukan pada periode Singosari. Hal ini juga dibuktikan pada patung Ganesha ini dan terletak dibagian sandarannya. Disebelah kiri dan kanan mahkota Ganseha terdapat hiasan bulat dan dilapisi lingkaran lancip dibagian luarnya. Dalam dunia arkeologi pola seperti ini disebut matahari terbit atau wilwatikta. Hiasan ini dipakai sebagai simbol resmi kerajaan Majapahit dan juga sering sebagai produk periode Majapahit.
Para ahli sejarah seperti Prof. Dr. Woyowasito, R. Soekmono, Drs. Pitono H., berpendapat bahwa Ganesha adalah dewa symbol kebijaksanaan atau lambang ilmu pengetahuan. Bahkan WR Situterheim mengatakan sebagai dewa kebahagiaan. Oleh karena itu wajar bila ITB Bandung menggunakan Ganesha sebagai symbol perguruan tingginya. Hal ini terkait dengan sikap belalai Ganesha yang menghisap isi batok sebagai symbol terus-menerus menghisap ilmu pengetahuan tanpa henti.
DWARAPALA
Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan “melindungi” dan “menjaga” bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2 buah di sebelah selatan dan utara.
Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya, maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan mata kakinya.
Menurut Bernet Kempers Dwarapala Singosari adalah penjaga alun-alun kerajaan Singosari (1222-1292) yang sekarang berubah menjadi taman didepannya. Sehingga diperkirakan keraton kerajaan Singosari terletak tidak jauh darinya. Kitab Pararaton menyebutkan adanya bangunan suci Purwapatapan tempat Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri dan Dr. Oey Blom yakin bahwa bangunan tersebut terletak disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Tentunya letak keraton tidak akan begitu jauh dengan tempat pemujaan.
Dari laporan tersebut nampak sekali bahwa saat itu dikawasan candi Singosari merupakan hutan lebat. Terbukti 17 tahun kemudian atau tahun 1820 D. Monnereau menemukan 4 bangunan candi disebelah selatan candi Singosari termasuk patung Pradnyaparamitha atau Kendedes. J.B Jukes yang mengunjungi reruntuhan candi Singosari tahun 1844 menyebutkan bahwa salah satu candi disebelah selatan candi Singosari disebut oleh penduduk setempat sebagai Cungkup Putri. Selanjutnya dia berpendapat bahwa candi tersebut tempat asli patung Pradnyaparamitha atau Kendedes.
Dari laporan-laporan tersebut jelas terbukti bahwa candi Singosari sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah kompleks candi. Sesuai dengan kitab Pararaton disebutkan adanya bangunan suci purwapatapan di Singosari dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Kompleks candi tersebut membujur dari selatan ke utara dengan kemungkinan candi Singosari adalah candi utamanya. Dr. Oey Blom menyebutkan bahwa kompleks candi Singosari terdiri atas 9 candi yang tersusun sedemikian rupa sesuai dengan konsep suci saat itu. Sayang hanya candi Singosari saja yang tersisa, sedangkan candi-candi lainnya telah hilang sama sekali dan berganti dengan pemukiman, jalan raya, dan persawahan sehingga sulit untuk dilacak kembali.
Dari sekian banyak patung-patung indah warisan kompleks candi Singosari hanya patung Agastya dan juga sepasang patung raksasa Dwarapala, 200 m sebelah barat candi, yang masih berada di asli lokasi. Sementara yang lain telah berpindah dan tersimpan dibeberapa tempat seperti di museum Nasional Jakarta (Patung Kendedes), Trowulan (Camundi) dan museum Leiden Belanda (Durga, Ganesha, Bhairawa). Yang lainnya hilang entah kemana.
PRADNYAPARAMITHA
Menurut kebanyakan orang, patung yang diduga berasal dari candi Singosari, pernah disimpan lama di negeri Belanda, dan sekarang menjadi salah satu koleksi berharga museum Nasional Jakarta, adalah patung Kendedes, sang permaisuri agung dan ibu suri dinasti Singosari dan Majapahit yang cantik jelita bak bidadari. Hal ini sesuai dengan cerita tutur, kitab kuno Pararaton, serta prasasti Mula Malurung.
Patung yang sesungguhnya merupakan perwujudan dewi Kebijaksanaan dan Ilmu Pengetahuan versi agama Budha ini disebut Pradnyaparamitha. Patung ini adalah yang terhalus dan terindah yang pernah ditemukan dalam dunia arkeologi Indonesia. Tingginya sekitar 1,26 m dan terbuat dari batu gunung atau andesit. Beliau duduk diatas bunga teratai dan kedua tanggannya membentuk sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia. Terdapat hiasan tangkai teratai melingkar ditangan kiri dan bunganya sebagai alas sebuah kitab. Dia bersandar pada sebuah kursi kencana indah dan beralaskan teratai.
Tubuhnya dipenuhi perhiasan mengagumkan mulai dari gelang kaki, bagian perut, tangan, dada, leher, kuping, badan hingga ke mahkotanya. Sedangkan tubuh bagian bawahnya ditutupi oleh kain sebangsa batik. Seandainya merupakan sebuah lukisan atau potret berwarna, tentulah patung ini akan menampilkan keagungan luar biasa dari sang putri. Mungkin juga patung ini adalah gambaran dari potret seorang putri raja karena memiliki hiasan yang begitu banyak dan indah.
Posisi tangannya melambangkan sikap dharmacakramudra atau memutar roda dunia atau lebih jelasnya merupakan kunci dari penguasaan sebab dan akibat. Sikap ini hanya dimiliki oleh kaum Budda dan juga seperti ditunjukkan pada patung-patung Budha yang ada di candi Borobudur. Sementara sebelah kirinya terdapat sebuah batang bunga teratai yang menjulur melingkar tangan kirinya. Pada ujung bunga teratai terdapat sebuah kitab yang disebut Pradnyaparamita-sutra atau kitab Kebijaksanaan Utama.
Sang pencipta patung ini sungguh telah begitu sempurna berhasil menggambarkan perpaduan antara kedamaian dan keteduhan ekspresi raut wajah serta keutamaan sikap Budhawi dengan gemerlapnya perhiasan diseluruh badan. Bahkan tak ada patung lain di Indonesia yang mampu menghadirkan keyakinan adanya teori patung “potret diri” karena pada patung ini jelas terlihat perpaduan dari sorang dewi yang memiliki wajah manusiawi serta memiliki perhiasan keduniawian seroang ratu. Dan sungguhnya patung ini merupakan satu-satunya patung potret-diri seorang ratu sebelum konsep potret-diri itu mulai muncul diantara para ahli sejarah.
Namun sayang tempat asli patung ini masih misteri. Karena jelas letak patung ini tidak mungkin dari candi Singosari yang ada sekarang masih berdiri. Ini karena candi Singosari adalah sebuah candi Siwa sementara patung Pradnyaparamita adalah sebuah dewi agama Budha. Jadi jelas bahwa salah satu bangunan agamis tersebut merupakan bagian dari sebuah kompleks besar percandian Singosari seperti ditunjukkan oleh penemuan Engelhard tahun 1827 yang tidak jauh dari candi Singosari. Kompleks tersebut ternyata tidak hanya berhiaskan candi-candi Hindu namun juga Budha seperti ditunjukkan oleh patung Pradnyaparamita. Dan ini tentunya sesuai sekali dengan prinsip raja Kertanegara sebagai seorang pemuja Siwa-Budha dan Tantra.
Namun demikian belum sepenuhnya benar seandainya patung Pradnyaparamita ini merupakan potret Kendedes. Kakawin Negarakertagama (67 ; 1-2 dan 69 ; 1) menyebutkan bahwa ratu Gayatri didharmakan sebagai Pradnyaparamitha dan candinya disebut Pradnyaparamithapuri. Gayatri adalah salah satu dari 4 putri Kertanegara dan menjadi istri terkasih dari Kertarajasa sang pendiri kerajaan dan dinasti Majapahit. Sementara itu, menurut kitab Pararaton, disebutkan bahwa pendeta Lohgawe yang merupakan penasehat spiritual Ken Arok menyebut Kendedes sebagai Ardhaneswari atau wanita utama dan mengacu pada dewi Parvati yang cantik jelita.
BHAIRAWA
Mungkin karena masih tersimpan dimuseum Leiden Belanda, sehingga patung yang indah dan nampak seram ini jarang dikenal orang. Patung ini ditemukan oleh Engelhard tahun 1827, bersama-sama beberapa patung lain, dari candi yang sekarang disebut Singosari.
Walaupun kitab-kitab icinografi India tidak memiliki referensi yang mampu menjelaskan dengan sempurna patung ini, dari penampilannya serta atribut-atributnya jelas patung ini merupakan salah satu perwujudan dewa Siwa yang menakutkan dan disebut Bhairawa. Berdiri diatas setumpukan kepala tengkorak dan dengan sikap agak jongkok, dia seperti duduk dipunggung seekor serigala. Memiliki 4 tangan yang masing-masing memegang keris, senjata tombak pendek, gendang dan batok kepala tengkorak. Pada badannya menjuntai kalung panjang berhiaskan kepala tengkorak, begitu juga anting-anting dan hiasan lengan atas kiri dan kanan. Wajahnya melotot dan mulutnya agak terbuka menampilkan gigi taringnya. Sangat pas menunjukkan wajah seramnya. Pada sandarannya sebelah atas kanan terdapat huruf jawa kuno berbunyi cakra-cakra. Sayang sedikit sandaran bagian atas kiri hilang dan mungkin berisi sisa tulisan tersebut sehingga belum terungkap dengan pasti apa makna dibalik seluruh prasasti tersebut.
Jessy Blom dan P.H. Port menduga kuat patung ini dulunya berada pada salah satu candi disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kitab Pararaton tentang adanya sebuah Purwapatapan dimana raja Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri. Menurutnya patung Bhairawa ini terletak di Purwapatan, seperti juga ditulis dalam prasasti Gunung Buthak (1924) sebagai Sivabuddhalaya atau tempat bersemayamnya Siwa-Budha, G.F. Brummund berpendapat bahwa bangunan ini terbagi atas 3 ruang. Patung Parwati (Pradnyaparamita) terletak disebelah selatan, patung Camundi disebelah utara, dan Bhirawa ditengahnya. Jadi Bhirawa ini diapit oleh seorang dewi menakutkan dan menyejukkan.
Tidak diketahui dengan pasti patung ini diperuntukkan siapa. Namun L.C. Damais berhasil meyakinkan bahwa terdapat 2 nama yang berkaitan erat dengan personfikasi patung Bhairawa ini; Yakni Adityawarman yang pernah memerintah Sumatra atau Kertawardahana yang selanjutnya dikenal sebagai istri Tribuwanatunggadewi dan ayah raja terbesar Majapahit, Hayam Wuruk. Nama asli Kertawardhana adalah Cakradhara atau Cakresvara.
CAMUNDI
Tahun 1927 ada seorang petani didesa Ardimulyo, sebelah utara candi Singosari, menemukan dan menyimpan sebuah arca agak besar. Namun kemudian dia sering bermimpi menyeramkan dan mengalami nasib jelek. Khawatir itu semua karena pengaruh patung yang baru ditemukannya, maka dia menghancurkan patung itu berkeping-keping. Untunglah museum Kesenian Boston, setelah berhasil menyelamatkannya dari seorang kolektor Belanda, dengan kesabaran luar biasa, berhasil menyatukan kembali sebagian besar bagian-bagian yang rusak dan hilang kecuali sedikit bagian belakang, dasaran, sedkit bagian depan yang sudah bercampur dengan bahan material baru.
Patung tersebut pernah tergeletak di halaman candi Singosari dan sekarang disimpan di museum Trowulan. Nama patung itu adalah Camundi. Memiliki tangan 8 buah, diapit beberapa tokoh seperti Ganseha dan Bhairawa.
Dibelakang patung Camundi tertera sebuah prasasti berangka tahun 1214 C atau 1292 M dan berbunyi : “tatkala kaprastisthan paduka bhatari maka tewek huwus sri maharaja digwijaya ring sakalaloka manuyuyi sakaladwipantara”. Disebutkan bahwa Batari Camundi ditasbihkan pada waktu Sri Maharaja Kertanegara menang diseluruh wilayah dan menundukkan semua pulau-pulau lain. (L.C. Damais)
Dalam Negarakertagama pupuh 42 dijelaskan bagaimana raja Kertanegara mampu menjadi raja besar dengan menaklukkan daerah-daerah seperti Bali, Pahang – Malaysia, Sumatera, Gurun, Bakulapura, Sunda, dan Madura. Itulah bibit-bibit wawasan cakrawala mandala nusantara.
Walaupun tidak terdapat bukti secara langsung atas daerah-daerah tersebut dan mengkin saja hanya merupakan wilayah simbolis saja, namun kenyataannya Kertanegara benar-benar menguasai Jawa dan Sumatera. Terbukti 6 tahun sebelumnya. tahun 1286, beliau mengirimkan tentaranya ke Sumatera dan berhasil menegakkan patung Amoghapasa disana sebagai bentuk kedaulatan Singosari atas wilayah Sumatera. Raja di Sumatera bernama Mauliawarman tetap diperkenakan memakai gelar maharaja, namun Kertanegara selanjutnya bergelar maharajadiraja.
DURGA MAHESASURAMARDINI
Dalam ksiah India kuno Markandeya Purana dan Matsya Purana menceritakan pertempuran antara para raksasa Asura yang dipimpin oleh rajanya Mahisa melawan para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra. Pada akhirnya pasukan para raksasa mampu mengalahkan tentara para dewa dan mereka memproklamirkan diri sebagai penguasa kahyangan. Brahma yang memimpin para dewa yang kalah meminta bantuan kepada dewa Wisnu dan Siwa. Keduanya akhirnya menyanggupi. Dari perpaduan kekuatan maha dahsyat kedua dewea utama ini maka lahirlah dewi Durga. Kemudian para dewa menyumbang kekuatan dan senjata andalannya kepada dewi Durga dengan harapan akan mmapu menandingi kesaktian Mahisa dan merebut kembali kahyangan. Setelah berhasil membunuh para tentara raksasa, Durga sendiri akhirnya menghadapi Asura yang berbentuk seekor kerbau. Dengan bediri diatas tubuh kerbau, Durga selanjutnya berhasil membunuhnya. Namun kemudian muncullah seorang raksasa kecil dari tubuh kerbau yang mati tersebut, yang sesungguhnya merupakan inti kekuatan dari kerbau sakti itu. Dan sekali lagi Durga berhasil menaklukkannya.
Demikian gambaran sekilas tentang patung Durga yang banyak ditemukan di Jawa dan sekaligus juga sebagai salah satu patung utama dari keberadaan sebuah candi. Dewi paling popular di Jawa ini, Durga Mahesasuramardini umumnya diletakkan di ruang sebelah utara sebuah candi Hindu atau Siwa. Patung Durga umumnya memiliki tangan mulai dari 2 sampai 10, namun yang paling umum bertangan 8 buah. Karena menurut ceritanya bahwa semua dewa menyerahkan senjata andalannya untuk diprgunakan melawan Mahisa, maka dalam literature Purana jumlah senjata tersebut melebihi jumlah tangannya yang ada. Akibatnya patung Durga kadang-kadang memiliki jenis senjata berbeda dengan patung Durga yang lain. Bahkan di Bali, salah satu tangan Durga digambarkan memegang keris Bali yang khas. Namun itu hanya minoritas saja karena pada umumnya Durga memiliki atribut senjata yang sama satu dengan lainnya.
Dalam dunia arkeologi Jawa, patung Durga digambarkan seolah-olah dalam keadaan sedikit rileks setelah berhasil mengalahkan Mahisa dan Asura. Berbeda dengan patung Durga di India yang menggambarkan sebuah pertarungan dahsyat melawan Mahisa. Hal itu terlihat dari sikap atau posisinya yang sedikit condong kekiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Keadaan Mahsia sendiri nampak pasrah dan seolah-olah merupakan binatang kendaraan Durga dan bukannya musuh para dewa yang berbentuk raksasa dan menakutkan seperti dalam konsep di India.
Dari berpuluh-puluh patung Durga yang pernah ditemukan di Indonesia, patung Durga dari candi Singosari dianggap yang paling indah dan megah. Patung yang masih tersimpan rapi di museum Leiden Belanda ini berhiaskan ukiran indah serta tinggi sekitar 1,5 meter. Hiasan pada tubuh Durga masih terlihat dengan baik demikian juga nandi (lembu) yang mejadi kendaraannya dan patung raksasa kecil disebelah kiri bawahnya.
Walau sebagian bagian atasnya sudah hilang, namun bagian yang menampilkan tubuh dan kepalanya masih utuh. Mahkotanya juga terlihat indah. Hiasan atribut keningratannya seperti gelang kaki atau binggel, sabuk, gelang tangan, dan anting-antingnya juga masih terlihat jelas.
Ada hal sangat menarik dari patung Durga ini adalah bahwa dia memakai penutup dada atau semacam kemben. Bahkan kemben tersebut terlihat ketat karena menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sedangkan tubuhnya bagian bawah tertutup oleh kain panjang semacam sarung dihiasi beberapa atribut keningratan. Yang tak kalah menarik, dibanding patung-patung lain yang pernah ada di Indonesia, adalah bahwa kain kemben dan sarung tersebut bermotf batik. Apakah memang batik sudah dikenal sejak jaman kerajaan Singosari ? Mungkin saja …
Patung Durga indah lainnya dari kerajaan Singosari adalah yang dari candi jawi. Patung ini sekarang disimpan di museum Mpu tantular Surabaya. Walau tidak seindah patung Durga dari candi Singosari dan berukuran lebih kecil (1 m), patung ini masih nampak utuh.
GANESHA
Menurut Mitologi India Ganesha digambarkan dengan berbadan manusia dan memiliki kepala binatang gajah. Gadingnya patah dan memiliki 4 buha tangan, 2 didepan dan 2 dibelakang. Mitologi itu jug amenyebutkan bahwa Ganesha mengendarai tikus karena itu ia digelari Vighnesvara yang artinya pengelak marabahaya atau penghalang segala keuskaran. Oleh karena itu setiap kali akan memulai suatu usaha, masyarakat India dulu tidak lupa memuja Vighnesvara agar usahanya kelak bebas dari segala bencana atau kesukaran dan ujung-ujungnya bisa berhasil.
Seperti patung-patung lain yang ditemukan Engelhard tahun 1827 dari candi Singosari, patung Ganesha ini yang masih tersimpan di museum Leiden Belanda ini dalam keadaan baik dan terawat. Patung yang juga terbuat dari batu gunung, andesit, ini berasal dari bilik sebelah timur candi Singosari.
Dengan tinggi sekitar 1,3 meter Ganesha nampak indah dan gagah. Sama seperti Ganesha yang lain, dia bertangan 4 masing-masing memegang kapak, gantungan, dan kepala tengkorakyang terbalik. Dia duduk diatas alas berhiaskan 10 kepala tengkorak.
Ganesha Singosari ini juga merupakan perwujudan dari Kertanegara itu sendiri. Jumlah 10 tengkorak pada batur alasnya merupakan simbol dari keutamaan Kertanegara dalam pemahaman 10 laku utama agama Budha atau disebut Paramita, yakni dhana (derma), sila (tata susila), ksanti (sabar), virya (perwira), dyana (samadi), prajna (kebijaksanaan), upaya kausalya (upaya sarana), pradinata (teguh), bala (kekuasaan), dan jnyana (pengetahuan). Seperti diketahui dari berbagai sumber bahwa Kertanegara terkenal sebagai raja yang sangat paham tentang prinsip-prinsip keagamaan.
Yang tidak lazim dari Ganesha ini adalah posisi duduknya yakni jigang atau sikap 2 kaki membentuk sudut siku-siku.. Hal ini melukiskan Kertenegara adalah orang yang memegang teguh norma-norma tata susila. Kepalanya memiliki mahkota bersusun tiga dan dibagain paling atas berbentuk stupa yang merupakan symbol penghormatan Kertenegara terhadap agama Budha yang dianutnya selain Siwa.
Tangan berjumlah empat buah. Kanan depan memegang batok yang digambarkan berisi perhiasan melimpah ruah, dan tangan kiri depannya memegang batok yang berisi darah yang dihisap melalui belalainya. Simbolis ini adalah bahwa kerjaan Singosari mengalami kemakmuran melimpah ruah sementara dia sendiri adalah orang yang terus menerus belajar tentang keutamaan dalam agama. Sementara tangan kanan belakang mmegang kunci pintu gerbang dan tagan kiri belakang memegang kapak. Ini merupakan perlambang Kertanegara yang teguh menjaga kedaulatan kerajaan besar Singosari dan menghancurkan musuh-musuh nya. Semua ini sesuai sekali dengan apa yang digambarkan oleh Prapanca dalam kakawin Negarkertagama
Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau
Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama
Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama
Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung … (pupuh 43 : 4)
Dengan prinsip upacara cradha atau upacara yang berlangsung setiap tahun hingga berakhir pada tahun ke-12, maka logis bila candi Singosari didirikan setelah wafatnya Kertanegara atau tepatnya pada waktu periode Majapahit. Jadi bukan pada periode Singosari. Hal ini juga dibuktikan pada patung Ganesha ini dan terletak dibagian sandarannya. Disebelah kiri dan kanan mahkota Ganseha terdapat hiasan bulat dan dilapisi lingkaran lancip dibagian luarnya. Dalam dunia arkeologi pola seperti ini disebut matahari terbit atau wilwatikta. Hiasan ini dipakai sebagai simbol resmi kerajaan Majapahit dan juga sering sebagai produk periode Majapahit.
Para ahli sejarah seperti Prof. Dr. Woyowasito, R. Soekmono, Drs. Pitono H., berpendapat bahwa Ganesha adalah dewa symbol kebijaksanaan atau lambang ilmu pengetahuan. Bahkan WR Situterheim mengatakan sebagai dewa kebahagiaan. Oleh karena itu wajar bila ITB Bandung menggunakan Ganesha sebagai symbol perguruan tingginya. Hal ini terkait dengan sikap belalai Ganesha yang menghisap isi batok sebagai symbol terus-menerus menghisap ilmu pengetahuan tanpa henti.
DWARAPALA
Sebelum dewa-dewa muncul di dalam sistim kepercayaan agama Hindu dan Budha, Dwarapala diangap sebagai makhluk gaib dan dipuja orang di India sebagai pelindung pertanian. Setelah munculnya prinsip dewa-dewa, Yaksha dimasukkan dalam golongan setingkat dibawah dewa. Perkembangan selanjutnya Yaksha menjadi pendamping sang Budha dan menghiasi stupa bersama-sama makhluk lain. Akhirnya Yaksha seakan-akan “melindungi” dan “menjaga” bangunan suci. Tugasnya sebagai pelindung bangunan suci itulah kemudian berkembang menjadi Dwarapala.
Dwarapala selalu diletakkan didepan pintu gerbang atau pintu bangunan suci. Ia memiliki kekuasaan untuk melindunginya dari berbagai kekuatan jahat. Sesuai tugasnya sebagai penjaga, diapun dilengkapi dengan senjata, umumnya gada sebagai simbol penghancur sekaligus lambang keperkasaan dan kekuasaan. Atributnya adalah ular atau naga perlambang kehidupan air yang dapat mendatangkan hujan. Matanya melotot dan mulut menyerengai menimbulkan kesan menakutkan sekaligus wibawa. Hal ini sama seperti Dwarapala Singosari. Untuk menambah kesan gagah dan garang penampilannya, sang penjaga candi itu masih merasa perlu memperlengkapi diri dengan kelat bahu, sabuk, samur, subang, kalung, gelang kaki (binggel), gelang tangan, serta ikat kepala untuk mengikat rambut ikalnya dan semuanya berhiasan kepala tengkorak.
Dilihat dari bentuk fisik serta senjata-senjatanya, tampak jelas sifat destruktif sebagai ciri kuat Dvarapala. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi peribadahan aspek destruktif itu harus dipandang mulia. Itu karena apa yang dianggap musuh-musuh jahat dari luar yang harus dihancurkan adalah ajaran-ajaran yang melawan agama. Jadi selama orang tidak berniat jahat, nyali tidak perlu ciut memasuki gugusan candi yang dijaga mahluk gaib menyeramkan ini.
Patung Dwarapala ini terletak sekitar 200 meter sebelah candi Singosari dan merupakan patung tunggal terbesar di Indonesia karena beratnya sekitar 23 ton dan tingginya 3,7 meter (padahal ia dalam posisi jongkok !). Jumlahnya ada 2 buah di sebelah selatan dan utara.
Dahulu Dwarapala sebelah selatan pernah ambles ke bumi hingga separuh perutnya. Tim yang mengerjakan pemugaran candi Borobudur dipercaya untuk memperbaiki letak posisinya. Namun tidak ada peralatan modern yang mampu mengangkatnya kembali, bahkan perlatan berat lainnya juga gagal seolah-olah tenggelam kekuatannya dihisap oleh patung tersebut. Setelah melakukan upacara selamatan dan berkat petunjuk gaib penduduk setempat yang memberitahukan bahwa letak kekuatan Dwarapala adalah pada kedua matanya, maka proses pengangkatan kembali tersebut berhasil setelah juga dengan menutup kedua matanya dari sinar matahari. Sekarang Dwarapala sebelah selatan tersebut berada diatas sebuah lapik semen dan utuh hingga kelihatan mata kakinya.
Menurut Bernet Kempers Dwarapala Singosari adalah penjaga alun-alun kerajaan Singosari (1222-1292) yang sekarang berubah menjadi taman didepannya. Sehingga diperkirakan keraton kerajaan Singosari terletak tidak jauh darinya. Kitab Pararaton menyebutkan adanya bangunan suci Purwapatapan tempat Kertanegara biasanya melakukan upacara tantri dan Dr. Oey Blom yakin bahwa bangunan tersebut terletak disebelah selatan candi Singosari yang sekarang sudah hilang jejaknya. Tentunya letak keraton tidak akan begitu jauh dengan tempat pemujaan.